Matahari yang yang mulai menapakan keindahannya. aku langkahkan kaikku untuk pekerjaan yang membuatku bahagia yaitu aku bisa duduk didekat - dekat masyarakat di desa ku. kulihat canda, tawa bahagia dan terkadang ku lihat banyak tangisan yang tidak bisa ku kenal entah tangisan bahagia atau kah sebaliknya yang merupakan tangisan kesediahan.
Aku pun ikut dalam keadan yang ku lihat. tapi aku pun bertanya ada apakah negeri ini yang bisa terjadi seperti ini, bersambung
Kamis, 10 Mei 2012
Kamis, 03 Mei 2012
hilangnya sopan santun
aku taktau siapa aku. hari yang cerah namun ku tak tau apakah aku bisa hidup untuk masa depan yang semakin sulit. kini aku sekarang dikesampingkan karena degradasi kehidupan masyarakat yang semakin sembraut . banyak hal yang membuat itu semua kita bisa lihat dari tingkah laku manusia sekarang ini. yang tidak memiliki ke sopanan sama sekali terhadap orang lain yang kadang sifatnya melebihi binatang.
ketika kumerenungkan apa yang harus kulakukan selaku yang hidup di negri ini. namun tak lama kudengar dua orang anak yang sedang merintih maenangis melihat kekacauan yang di buat teman - temanya yang selalu ribut mempermasalahkan hal yang tidak pentinng dibandingkan memikirkan hal yang lebih penting yaitu orang yang sedang menangis karena kelaparan, orang yang membutuhkan mereka namun mereka kini hanya memejamkan mata dan melitasi kesulitan yang oranglain rasakan. bersambung dulu yah................
ketika kumerenungkan apa yang harus kulakukan selaku yang hidup di negri ini. namun tak lama kudengar dua orang anak yang sedang merintih maenangis melihat kekacauan yang di buat teman - temanya yang selalu ribut mempermasalahkan hal yang tidak pentinng dibandingkan memikirkan hal yang lebih penting yaitu orang yang sedang menangis karena kelaparan, orang yang membutuhkan mereka namun mereka kini hanya memejamkan mata dan melitasi kesulitan yang oranglain rasakan. bersambung dulu yah................
Rabu, 02 Mei 2012
Selasa, 01 Mei 2012
Asal – usul haji de – eng ( haji tubagus alli ) PENAKLUK JIN
K
|
onon ceritanya gantarawang sejak jaman
dulu sudah terkenal dengan aroma mistisnya masih kuat serta ada sebuah kejadian
ada seorang serdadu beserta kudanya yang menghilang ditempat itu bukan haya itu
saja yang bukan orang asli daerah tempat itu dilarang mengambil ranting –
ranting pohon ditempat itu tanpa seijin orang asli tempat itu atau minta dengan
cara menyebut ketujuh turunan pataklukan tepat itu.
Masyarakat setempat
percaya akan legenda gantarawang konon ceritanya bahwa gantarawang adalah
tempat atau pasar jin – jin atau mahkluk halus serta sejenisnya ada tiga
sebutan dan makna sebutan gantarawang itu bagi masyarakat sekitar yang pertama
yaitu gantarawang yang merupakan
kepan jangan dari gantar menghadap
kelangit atu keawang - awang mengandung arti bahwa kita sebagai manusia harus
ingat pada tuahan yang maha esa, yang kedua yaitu gantar uang yang mengandung makna karena tempat
itu dijadikan penjarahan oleh segelintir orang sehinga menghasilkan uang dan
menggantungkan nakah mejadi kuncen sering mengaku ngaku menjadi keturunanya,
ketiga gantar awang yang memiliki arti gantar yang menjulang kebumi
sehinga kita sebagai manusia haruslah ingat bahwa tidak ada manusia yang kekal
atau abadi dan semuanya akan kembali lagih keasal mulanya yaitu ketanah dan
tidak ada seseorang pun yang dapat meng hentikan maut.
Gantarawang ini tidak
perna terlepas dari cerita tentan haji de-eng yang kebanyakan orang merinnding
mendengar haji de – eng ini karena mereka mengagap beliau raja jin yang
sebenarnya menurut abah haji de – eng ini adalah ulama yang taat pada agama –
nya yaitu islam. Pada waktu itu haji de – eng suka menangkap ikan dengan cara
memasang bubu yaitu lidi yang dibuat dengan ketekunan dan anyaman. Ketika
beliau memasang bubu tetapi, dihari itu paun beliau tidak biasanya tidak ada
ikanya karena beliu penasaran dan ingin
tahu sipa yang mengambil ikanya tersebut dengan berani ia pun menangtangnya
akhirnya dihari esoknya lagi beliu pun memergoki yang selama ini mengambil
ikanya yang merupakan mahkluk sejenis jin lalu terjdilah pertarungan haji de – eng
dengan jin itu yang disaksikan salah seorang warga dan berlangsung lama smpe
jin tersebut dilempar kedaerah gantarawang tempat terjadinya pertarungan
tersebut jin tersebut kalah dan ingin kabur tapi haji de – eng menjabak
rambutnya lalu haji de – eng mebacakan asma allah yaitu ayat kursi sehingga jin
tersebut kepanasan dan memohon ampunan pada haji de – eng “ panas! panas! Apun
ki aku mohon apuni aku ki,! ujar jin itu dengan kesakitan “. “ bik aku akan
lepaskan kamu asal kamu mu berjanji tidak akan menggagu aku lagi beserta
keturunan ku. kalau kamu menggangu anak cucu ku, aku akan mecari kamu sampai
kemana pun kamu lari termasuk sampi ke Alam mu akan ku obrak abrik. Ujar haji
de – eng “. Jin tersebut menyetujuinya “ baik kalau itu persyaratany aku
menyetujuinya bahkan tujuh keturunanmu akan aku tolong. Ujar jin tersebut “.
Akhirnya ikan beliupun
tidak ada yang mencuri lagi haji de – eng yang sebenarnya bernama haji tubagus
Alli yang merupakan anak dari keturunan ke – X dari sultan hasannudin yang
merupakan sultan banten yang terkenal disemua tataran pelosok nusantara dengan
agamanya yang kental. beliau pun dikaruniai empat cucu dari haji endong dan
sekarang cucu beliau tigal satu cucu dari haji endong tapi banyak cicit. Dan beliliau disebut kide – eng karena
kegemaranya membuat deng deng dari ikan tangkapanya.
Akupun pernah
diperlihatkan oleh cucu beliau sebuah pusaka haji tubagus yali itu yang konon
setiap malam jumat selalu berbuni sendirinya lantas akupun tidak lantas percaya
begitu saja namun akhirnya akupun diajak melihatnya namun saying aku dilarang
mengabadikanya. Selain itu warga pun percaya bahwa kalau menyebut nama tujuh
keturunan dari haji tubagus yalli akan di tolong dan tidak digangu tetpi bukan
masyarakat setempat saja yang percaya tapi banyak orang dari jauh dating untuk
ber – zarah kemakam haji tubagus yalli. Namun kita juga harus mengingat
berjarah bukan berarti kita mengagunkan makam tetapi supaya kita ingat bahwa
semua yang ada didunia ini hanya titipan allah dan kita akan kembali lagi
keasal kita yaitu tanah.
Senin, 30 April 2012
cerita rakyat
Cerita rakyat Tigaraksa
K |
ata Tigaraksa berasal dari 3 Tokoh yang dikirim dari kerajaan cirebon untuk menghadang belanda yang masuk ke kepulauan jawa lewat pesisir banten tiga tokoh itu adalah . Aria jaya Santika, Aria Wangsa kara, dan Kimas Laeng.... wilayah yang dilewati ke tiga tokoh tersebut di namakan Tigaraksa,banyak sekali kisah kisah yang belum terungkap dikarenakan Sedikitnya sumber yang mengetahui tentang itu, ada juga beberapa asal muasal nama wilayah di sekitar tigaraksa, seperti Cisoka yang berasal dari bahasa sunda yaitu cai(ci) Soca yang berarti air mata yang dulunya tempat tersebut tempat berkumpul orang orang yang non muslim yang masuk menjadi Muslim karena rasa bahagia mereka semua menangis mengeluarkan air mata cai coca yang sekarang menjadi Cisoka.. Kemudian Balaraja berawal dari tempat berundingya para raja atau Balai Raja sehingga di sebut Balaraja...banyak mungkin versi versi lain yang tentunya lebih mendasar dan mempunya sumber kuat.
Nama Tigaraksa sendiri tercipta dari asal muasal di utusnya 3 utusan pada masa kerajaan / kesultanan banten. Yang kala itu negara kita masih dalam penjajahan belanda. 3 utusan tersebut ialah Aria Yudanegara, Aria Wangsakerta dan Aria Santika. Adapun tugas utama dari ke-3 utusan ini ialah untuk membuat basis-basis pertahanan dari serangan musuh, yang menjadi cikal bakal nama Tigaraksa yaitu tigaraksasa = tiangtiga sebagai kehormatan untuk mengenang para 3 Aria utusan dari kesultanan Banten tersebut. Beberapa nama dari utusan itupun di jadikan nama sebuah jalan yang menghubungkan antara balaraja (tempat bertemunya para raja) dengan Tigaraksa yaitu Jl. Raya Aria Jaya Santika dan Jl. Aria Wangsakara.
Wilayah basis pertahanan ini di jadikan tempat perkampungan dan tempat pemerintahan. Beberapa penduduk perkampungan dari arah timur banyak yang mengungsi kedaerah tersebut untuk menghindari serangan belanda. Lambat laun belanda pun akhirnya dapat menumbangkan pemerintahan dari ketiga Aria tersebut dan pada saat yang bersamaan pula di bangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane oleh Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu prasasti tersebut oleh masyarakat biasa di sebut “Tanggeran” yang pada akhirnya di kenal sebagai Tangerang.
Sejarah Tangerang
Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang di dirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng
Secara tutur - tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.
Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon, basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal - bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa ( sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiang tiga = Tigaraksa ).
Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan Tangerang ( bahasa Sunda = tanda ) memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, " Bismillah peget Ingkang Gusti / Diningsun juput parenah kala Sabtu / Ping Gangsal Sapar Tahun Wau / Rengsenaperang netek Nangeran / Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian / Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang "
Arti tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadae] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"
Dulu bernama Tanggeran
Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Asal Mula Penduduk Tangerang
“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangeran sebelah barat”.
Orang Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa. Persebaran penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih mendalam.
Langganan:
Postingan (Atom)