Cerita rakyat Tigaraksa
K |
ata Tigaraksa berasal dari 3 Tokoh yang dikirim dari kerajaan cirebon untuk menghadang belanda yang masuk ke kepulauan jawa lewat pesisir banten tiga tokoh itu adalah . Aria jaya Santika, Aria Wangsa kara, dan Kimas Laeng.... wilayah yang dilewati ke tiga tokoh tersebut di namakan Tigaraksa,banyak sekali kisah kisah yang belum terungkap dikarenakan Sedikitnya sumber yang mengetahui tentang itu, ada juga beberapa asal muasal nama wilayah di sekitar tigaraksa, seperti Cisoka yang berasal dari bahasa sunda yaitu cai(ci) Soca yang berarti air mata yang dulunya tempat tersebut tempat berkumpul orang orang yang non muslim yang masuk menjadi Muslim karena rasa bahagia mereka semua menangis mengeluarkan air mata cai coca yang sekarang menjadi Cisoka.. Kemudian Balaraja berawal dari tempat berundingya para raja atau Balai Raja sehingga di sebut Balaraja...banyak mungkin versi versi lain yang tentunya lebih mendasar dan mempunya sumber kuat.
Nama Tigaraksa sendiri tercipta dari asal muasal di utusnya 3 utusan pada masa kerajaan / kesultanan banten. Yang kala itu negara kita masih dalam penjajahan belanda. 3 utusan tersebut ialah Aria Yudanegara, Aria Wangsakerta dan Aria Santika. Adapun tugas utama dari ke-3 utusan ini ialah untuk membuat basis-basis pertahanan dari serangan musuh, yang menjadi cikal bakal nama Tigaraksa yaitu tigaraksasa = tiangtiga sebagai kehormatan untuk mengenang para 3 Aria utusan dari kesultanan Banten tersebut. Beberapa nama dari utusan itupun di jadikan nama sebuah jalan yang menghubungkan antara balaraja (tempat bertemunya para raja) dengan Tigaraksa yaitu Jl. Raya Aria Jaya Santika dan Jl. Aria Wangsakara.
Wilayah basis pertahanan ini di jadikan tempat perkampungan dan tempat pemerintahan. Beberapa penduduk perkampungan dari arah timur banyak yang mengungsi kedaerah tersebut untuk menghindari serangan belanda. Lambat laun belanda pun akhirnya dapat menumbangkan pemerintahan dari ketiga Aria tersebut dan pada saat yang bersamaan pula di bangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane oleh Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu prasasti tersebut oleh masyarakat biasa di sebut “Tanggeran” yang pada akhirnya di kenal sebagai Tangerang.
Sejarah Tangerang
Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang di dirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng
Secara tutur - tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.
Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon, basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal - bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa ( sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiang tiga = Tigaraksa ).
Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan Tangerang ( bahasa Sunda = tanda ) memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, " Bismillah peget Ingkang Gusti / Diningsun juput parenah kala Sabtu / Ping Gangsal Sapar Tahun Wau / Rengsenaperang netek Nangeran / Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian / Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang "
Arti tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadae] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"
Dulu bernama Tanggeran
Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Asal Mula Penduduk Tangerang
“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangeran sebelah barat”.
Orang Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa. Persebaran penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih mendalam.